Sejarah Romusa di Masa Penjajahan Jepang

Опубликовано: 15 Июль 2023
на канале: TV RKP
523
8

Romusha Adalah – Periode Invasi Jepang 1942–1945 di Indonesia seolah mempunyai dua sisi mata uang, yaitu sejarah masa kelam bangsa dan menguatnya rasa nasionalisme. Masa kelam tersebut terjadi karena eksploitasi di hampir seluruh lapisan masyarakat untuk kepentingan perang Asia Timur Raya dan untuk ekspansi militer Jepang. Eksploitasi semakin menjadi karena kerja sama yang kuat antara pemerintah militer Jepang dan kelompok nasionalis yang menyambut dan mengelukan-elukan kekuatan Jepang sebagai bangsa pembebas akibat frustasi dijajah pemerintah kolonial Belanda.

Pada 8 Maret 1942, militer Jepang berhasil menaklukkan Hindia Belanda secara de jure hanya dalam tempo delapan hari. Kesuksesan Jepang menduduki wilayah Hindia Belanda akhirnya membuat pasukan Belanda dan Sekutu hengkang meninggalkan Hindia Belanda atau rela menjadi tawanan perang.

Pada masa ini, golongan nasionalis yang kooperatif dengan pemerintah militer Jepang membentuk usaha-usaha bersama dalam bentuk organisasi massa. Pihak militer Jepang pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan gerakan itu untuk memobilisasi massa guna kepentingan militer di kawasan Asia-Pasifik, yaitu menaklukkan tentara Sekutu. Inilah yang kemudian terbentuk Gerakan Tiga A dan Poetra (kemudian berganti menjadi Hokokai) sebagai wadah pemusatan konsentrasi massa (Ricklefes, 2005).

Melalui tokoh penggerak yang dikenal dengan empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hadjar Dewantara, kelompok nasionalis dan golongan Islam yang dinilai kooperatif oleh militer Jepang mendapat tempat di panggung gerakan keagamaan, sehingga organisasi seperti Majelis Islam a’la Indonesia (MIAI), Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama (NU) diizinkan berdiri kembali.

Kekalahan telak armada Jepang terjadi di Coral Sea dan Midway menyebabkan banyak armada militer, termasuk pasukan telah menjadi korban. Kegagalan tersebut membawa implikasi yang besar sehingga, praktis kekalahan militer Jepang sudah semakin di depan mata. Kondisi tersebut sontak membuat parlemen di Jepang dan pemerintah militer Jepang memutuskan keputusan untuk semakin meningkatkan eksploitasi sumber daya yang dimiliki Hindia Belanda, termasuk manusia sebagai alat perang.

Faktor itulah yang menyebabkan partisipasi politik yang melibatkan kelompok nasionalis kooperatif ke dalam sebuah Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in) menjadi mutlak. Tokoh empat serangkai digandeng untuk memuluskan rencana ini, sehingga dibentuklah keanggotaan sebanyak 23 orang yang diangkat oleh Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenam Belas) melalui rekomendasi perwakilan di daerah-daerah.

Chou Sangi-in secara resmi bersidang pertama kali pada 16–20 Oktober 1943. Tujuan sidang ini dimaksudkan untuk semakin mempertegas bahwa rakyat Indonesia dapat bahu-membahu mewujudkan kemenangan Kemaharajaan Kaisar Jepang (Tenno) di Asia Timur Raya.
Akhir sidang tanggal 20 Oktober 1943 menghasilkan keputusan dengan arahan Saiko Shikikan melalui mediasi dengan Departemen Urusan Umum bahwa disepakati langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia:

Memperkuat dan melindungi para prajurit PETA dan Heiho.
Menggerakan tenaga kerja untuk keperluan masyarakat dan perang.
Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa perang.
Memperbanyak hasil bumi.

Pada butir kedua operasionalisasinya, dibentuk pengorganisasian massa dengan membentuk gerakan Romusha (dalam bahasa propaganda berarti “prajurit pekerja”). Untuk mengorganisasi ini, dibutuhkan perangkat lokal mulai shu (keresiden), ken (kabupaten), gun (kewedanaan), son (kecamatan), dan ku (desa), menyusul dibentuknya Kumai (koperasi) dan Tonarigumi (Rukun Tetangga) (Kurasawa dan Shiraishi, 1988).

Hal itu dilakukan untuk memobilisasi massa secara massal, sukarela, dan cepat. Ini dikarenakan masyarakat semi-feodal pada waktu itu sangat takut dan tunduk oleh institusi pemerintah (seperti hubungan raja dan bawahan atau patron dan klien). Proses rekrutmen dilakukan dengan sistematik karena melibatkan pemerintah setempat. Hal itu dilakukan dengan iming-iming sandang, papan, pangan yang layak, serta merupakan bagian tugas dari masyarakat desa tempat mereka tinggal.

Itulah sekelumit mengenai rencana awal eksploitasi manusia sebagai pekerja paksa, mulai dari aturan sampai kepada operasionalisasi di lapangan yang langsung melibatkan tokoh nasional yang berpengaruh, perangkat pemerintahan, serta tokoh yang ada di pelosok wilayah desa (seperti kiai dan pemuka adat).

#sejarah #romusha #indonesia #penjajahan #jepang

‪@TVRKP‬